Seindah Relung Sangatta
Sangatta rintik-rintik
Status
terbaru teman baru Dewi di facebooknya.
Sebenarnya tidak ada
yang menarik dari statusnya setiap hari, tapi entah kenapa Dewi jadi penasaran
dengan teman barunya yang belum lama konfirmasi pertemanan dengan dia. Mungkin
karena setiap kali membaca statusnya dia hanya menulis tentang Sangatta. Ah, Sangatta. Begitu banggakah dia dengan
Sangatta.
Sangatta
sore ini menyejukkan
Lagi-lagi
dia menulis statusnya.
Apa
mungkin dia seorang anak kecil yang sedang belajar bermain-main dengan
internet, sekali lagi Dewi mencoba membaca profilnya. Bukan, dia seorang
dewasa. Tapi bisa saja profilnya palsu, akun jejaring sosial seperti facebook
bisa di manipulasi. Gatal tangannya ingin memberinya kometar pada statusnya,
tapi dia tahan keinginannya.
Penasaran,
Dewi mengembalikan akunnya ke beranda rumah, mencari tentang Sangatta.
Ibu kota Kutai timur
penghasil batu bara. Daerah penduduknya terbilang maju dengan pendapatan setiap
perkapitanya lumayan tinggi. Tidak menarik buatnya, entah untuk para pembisnis
dan pemburu minyak mentah. Hanya tertarik dengan status teman
barunya itu, Dewi kembali lagi membuka facebooknya, status yang tampil
masih beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang baru.
Status baru muncul,
keponakannya memasukkan beberapa foto barunya. Cantik, terlihat energik seperti
dirinya di usia sekolah seragam putih abu. Beberapa foto berpose dengan seorang
laki-laki sebayanya, mungkin pacarnya. Lucu, jadi seperti melihat bayangannya
sendiri waktu dulu, Dewi tersenyum simpul.
Bosan mau memberi
komentar, Dewi klik saja ‘like’. Tidak ada yang menarik, dia sudahi saja penjelajahannya
di dunia maya.
“Sudah
selesai Mbak?” Sessi mengejutkannya. Dewi seperti tahu maksud pertanyaan Sessi,
pasti tentang resensi tulisannya yang akan segera terbit.
“Belum,
masih lama deadline.”
“Bukan
itu maksud saya, buka facebooknya.”
“Tidak
ada yang seru.” Jawab Dewi sedikit tersipu, malu telah menggunakan sarana
redaksi untuk kesenangan pribadinya.
“Lama-lama
memang suka bosan. Eh, mau ada riset
di ajak engga?”
“Ke
Lembang? Engga. Di wakili redaktur kebahasaan.” Jawab Dewi.
“Bukan,
ke Kutai. Sanga....”
“Sangatta...”
“Nah,
itu dia.”
“Jauh
amat.” Kata Dewi, penasaran di wajahnya sudah dapat di tebak oleh Sessi.
“Sambil
menyelam minum air. Katanya sih, Mas Rio mau meriset bidang maritim di sana
untuk tesis nya.” Jawab Sessi.
“Oh,
ada kepentingan pribadi juga.”
“Kan
saya sudah bilang, sambil menyelam minum air.”
Kenapa
semuanya jadi serba Sangatta sih, batin Dewi.
Sesuatu yang telah lama
hilang sepertinya muncul kembali, seperti tanaman yang hampir mati lalu
mendapatkan sedikit kucuran air sehingga lambat laun menyegar kembali di
ingatannya.
“Saya
punya teman di Sangatta.” Tiba-tiba
kata-kata itu meloncat dari mulur Dewi.
“Masa?
wah bisa jadi kabar bagus dong buat pemred. Memang sih katanya penduduknya
rata-rata pendatang dari Jawa dan Sulawesi.”
“Eit,
nanti dulu. Cuma teman di facebook kok.” Dewi menyela.
“Kirain...kalau
di facebook, dari Medan sampai Papua sayapun punya Mbak.”
“Iya
ya.”
Penasaran,
Dewi mengejar Sessi yang hendak mengisi perutnya ke kantin. Cewek imut yang
berusia setingkat di bawahnya itu akhir-akhir ini memang tengah dekat dengan
Dewi. Selalu membantu pekerjaan Dewi, tulisan-tulisannya pun sudah sering
terbit. Kreativitasnya dalam menulis termasuk yang membanggakan.
“Siapa
yang pergi?”
“Pergi
ke mana?”
“Kutai”
“Oh,
yang pasti perwakilan dari tim risdok tentunya. Kenapa? Mau gabung?nanti saya infokan.”
“Eh,
engga usah. Aku lagi males pergi jauh-jauh, apalagi nyebrang lautan.”
“Mana
tau...mau mencari sesuatu di sana.”
“Mencari
siapa?”
“Siapa
atau apa kan Mbak Dewi yang tahu.” Sessi malah meledek, setelah di lihatnya
Dewi merasa penasaran.
Tidak
terlalu bernafsu juga untuk ikut, tapi
semua jadi membuat Dewi penasaran.
Tiba-tiba semua tentang Sangatta, sesuatu yang sudah lama dia lupakan.
“Aku
mau pergi.” lelaki yang dicintainya bicara dari seberang telefon waktu itu,
ditahan mulutnya sekuat tenaga untuk tidak bersuara, egois dalam benak Dewi
telah mendominasi kelembutannya. “Ke Sangatta.” Lanjutnya.
Hening.
Klik, telpon terputus.
Tidak mengagetkan
untuknya kalau dia memutuskan sendiri ponselnya. Mau ke Sangatta, ke Calcutta,
ke neraka sekalipun Dewi sudah tidak perduli waktu itu. Untuknya semua telah
selesai, mereka tidak dapat merengkuh kebahagiaan. Alasan kenapa dia pergi pun
Dewi tidak ingin tahu. Dewi merasa semua akan baik-baik saja tanpa Abiyan
kekasihnya. Semua berawal dari kecemburuannya sendiri melihat Abiyan kekasihnya
lebih mementingkan adik perempuannya dibandingkan dirinya, berhari-hari dia
tidak menemuinya demi menemani adiknya yang baru datang dari luar kota. Mending
saja dia seorang adik kandung, ternyata setelah di usut adiknya itu hanya
seorang adik yang di angkat keluarganya dari panti asuhan.
Tiga tahun Dewi
benar-benar telah melupakannya, hubungan cinta semasa sekolahnya tidak
menjadikan Dewi seorang yang cengeng, tidak pernah terbersit sedikitpun dalam
hatinya untuk mengingatnya apalagi Dewi sendiri ingin sekali mengejar
cita-citanya untuk kuliah di Universitas yang di impikannya.
Dewi kini telah menjadi
seorang mahasiswi yang lumayan mempunyai loyalitas dan mempunyai banyak
kegiatan di kampus, tidak ada waktu untuk merenungi masa lalu. Termasuk kisah cinta
yang kandas semasa sekolahnya dulu.
Tapi sekarang sesuatu mengusik hari-harinya
lagi.
Sangatta, dimana itu
dia juga tidak tahu, untuk mencarinya di petapun tidak terpikirkan olehnya
waktu itu.
“ Apa perduliku dengan
semua ini, bahkan mungkin dia juga telah melupakan aku dengan mencintai wanita
sana, wanita Tenggarong, atau bisa saja wanita Samarinda...” batinnya.
*
“Mbak
Dewi, di panggil Mas Rio.”
“Ada
apa? Jangan bilang kamu....”
“Engga,
saya belum infokan hal itu.”
“Terus
ada apa?”
“Mana
saya tahu, tapi kayaknya Mas Rio ada tamu. Mau di kenalin barangkali sama Mbak
Dewi, hehe...” Sessi malah meledek.
“Sejak
kapan Pemred berprofesi ganda jadi mak comblang.” kata Dewi sambil berlalu.
“Sejak
tadi. Tidak apa-apa lah...itu kan tanda Abang sayang sama adiknya, yang masih
sendiri tanpa seorang kekasih.” Kata Sessi lagi, namun Dewi tidak
menggubrisnya. Mas Rio memang sudah mereka anggap seperti Abangnya mereka di
kampus.
Ruangan
redaksi sedikit sepi, namun terlihat beberapa staf dari divisi riset dan
dokumen tengah berkumpul dengan Mas Rio.
“Siang
mas.”
“Oh,
siang. Dewi kenalkan kawan saya Abiyan.”
Dug,
jantung Dewi seperti berhenti sejenak tapi bekerja lagi dengan sangat kencang
hingga terasa darahnya memuncak ke kepala membuat organ lain di tubuhnya
kekurangan suplai darah. Dewi lemas sebelum tahu siapa sebenarnya yang di perkenalkan
Mas Rio.
“Siang.”
Laki-laki perlente yang diperkenalkan Mas Rio sebagai Abiyan menjulurkan
tangannya, tidak memberi Dewi kesempatan untuk menstabilkan kembali aliran
darahnya.
Oh Tuhan, aku yakin wajahku pucat pasi,
batinnya.
Bukan, ternyata dia bukan Abiyan yang dia
kenal. Sesaat kecewa menyeruak di hati Dewi.
“Kita
ke Kalimantan timur minggu depan, aku memilih kamu sebagai kru. Tenang saja ada
Abiyan yang akan menolong kita...silahkan duduk!” entah apa yang ada dalam
pikiran Dewi, ucapan Mas Rio seperti menyindirnya. Dewi mencoba tersenyum tapi
terasa hambar.
Ternyata tanpa
direkomendasikan Sessi pun dia termasuk yang di pilih ikut.
Abiyan jadi-jadian itu akan jadi pemandu mereka
di Sangatta. Dia adalah kawan baik Mas Rio yang sudah lama tinggal di sana,
bekerja pada sebuah kapal pengangkut batu bara. Datang ke Jakarta untuk melanjutkan
study nya, entah gelar apa yang dia kejar di Akademi Maritim yang pasti dia
sudah tahu seluk beluk Sangatta dan selat Makasar.
Oh Tuhan, ada apa ini sebenarnya, apa aku
terkena kutukan karena terlalu meremehkan masa lalu. Ataukah ini karma untukku
yang terlalu menyalahkan Abiyan atas segala hal, termasuk kedekatannya dengan
seorang wanita yang membuatku cemburu setengah mati, merasa tidak dihargai, dan
sok suci. Mungkin hal itu pula yang membuat Abiyan pergi tidak pernah kembali.
Dewi tidak dapat
menghindari kecamuk di hatinya. Setelah sekian lama menghilang ternyata rasa
itu masih ada.
Wajah
Sangatta, membiru meronakan hatiku
Dewi merasa
status itu kembali menyindirnya. Dewi yakin itu adalah petunjuk tentang Abiyan,
laki-laki yang dulu pernah menemani hari-harinya semasa SMA. Laki-laki yang ternyata
sampai saat ini belum mempunyai pengganti di hatinya.
Berbeda
denganku, Sangatta selalu hangat
Seperti
tersihir, Dewi selalu menunggu status itu.
Dewi
terlihat kacau, laporannya tentang majalah kampusnya tidak segera terealisasi.
Pekerjaannya sebagai staf divisi online pun terbengkalai.
“Ada
apa Mbak?” Sessi sepertinya melihat gelagat buruk Dewi akhir-akhir ini. Makanya
dia sempatin waktunya untuk berkunjung ke tempat kos Dewi yang tidak jauh dari
kampus.
“Kuis
ku jeblok.” Dewi segera menjawab, setelah beberapa lama terdiam mencari alasan.
“Pasti
ada sebabnya...”
Dewi
tidak bisa menjawab, dia tidak ingin Sessi tahu tentang hatinya.Kuisnya memang
benar-benar jeblok akhir-akhir ini. Namun Dewi sudah tidak perduli lagi dengan
kuis ataupun kegiatan lain di kampusnya, dia hanya terus mengingat masa lalunya
yang semakin hari semakin membuat pikirannya kacau. Dewi seperti baru kemarin
menerima telepon terakhir dari Abiyan, sepertinya dia telah kembali ke masa
lalunya dan memulainya lagi menjadi babak baru dalam hari-harinya. Dewi seperti
berada di ujung masa SMA nya.
Seandainya
saja waktu itu dia sedikit perduli dengan kepergian Abiyan tentu dia tidak akan
begitu kehilangan jejak laki-laki itu.
“Mbak...”
Sessi memanggil.
Dewi
tidak menjawab, gelisah di hatinya semakin menjadi dan tak sanggup lagi dia
tanggung sendirian. Akhirnya tumpah juga segala isi hati Dewi kepada Sessi
setelah beberapa lama mereka terdiam.
“Itu
artinya k Mbak Dewi masih mencintainya.” Kata Sessi setelah dengan sabar
mendengarkan curahan hati Dewi.
“
Tapi kenapa akhir-akhir ini? Setelah sekian lama.”
“Karena
memang akhir-akhir ini Mbak mendapatkan kembali masa lalu itu.”
“Iya,
semuanya seperti tengah menghukumku.”
“Mungkin
ada seseorang di balik semua ini.”
“Maksud
kamu?”
“Maksud
saya, mungkin bisa saja ada seseorang yang mencoba membuat Mbak Dewi ingat
kembali masa lalu itu. Bisa saja kan.”
“Apa?”
Dewi semakin penasaran.
“Ini
hanya feeling saja, sepertinya sebuah sekenario tengah di jalankan.”
“Ngaco,
tidak ada orang yang mengenal Abiyan di sini.”
“Mbak
Dewi boleh saja kehilangan jejak Abiyan tapi Abiyan kan belum tentu tidak
mencarimu, Mbak.”
Dewi
sebenarnya ingin merespon kata-kata Sessi dengan gembira, dengan mengatakan
‘semoga saja’ tetapi dia tidak ingin sahabatnya itu memperpanjang pikirannya
tentang Abiyan. Dewi yakin Abiyan bukan laki-laki seperti itu, memata-matai dia
memakai mata orang lain.
“Menurut
kamu siapa?” selidik Dewi sedikit terpancing dengan pikiran Sessi.
“Kalau
Mbak Dewi mau aku bisa selidiki.” Kata Sessi lagi.
“Sudahlah,
itu tidak mungkin.”
“Ya
sudah, sepertinya Mbak Dewi sudah lega.”
Dewi memaksakan
tersenyum, memang dia agak sedikit lega setelah mencurahkan segalanya kepada
Sessi. Meskipun kini hatinya tengah bertanya-tanya, mungkinkah Mas Rio tengah
menjadi dalang dari semua ini dengan menyelami kejadian akhir-akhir ini di
kampus, dari mulai risetnya yang memilih Sangatta sampai teman baiknya yang
bernama Abiyan. Tapi Dewi menepis
semuanya, dia tahu seperti apa Mas Rio dan tidak pernah terlihat mimik
mencurigakan dari wajah mas Rio. Semua terlihat biasa saja.
Waktu
untuk terbang ke Kalimantan tiba, Dewi ingin profesional dalam kegiatan majalah
kampus yang dia geluti. Benaknya hanya dia sendiri yang tahu, meski dia
bertekad berangkat untuk bekerja, bukan untuk mencari Abiyan tapi dalam hatinya
dia menghendaki Tuhan memberinya kesempatan.
Tiba-tiba Sangatta akan
begitu indah untuknya, jauh di relung hatinya dia berbisik, Sangatta...tunggu aku karena Abiyyan
bersamamu.
Sementara di Bandara,
Sessi yang baru saja melepas keberangkatan Dewi dan staf redaksi untuk terbang
ke kalimantan tengah berbicara melalui ponselnya dengan seseorang di Sangatta.
“Sip Bang, dia
berangkat. Sekarang tinggal giliran Abang yang mengatur semuanya.” Katanya, di
jawab dengan ucapan terima kasih dari seberang telefon. Usahanya dinilai cukup
untuk membahagiakan Abiyan kakak angkatnya yang telah begitu berjasa membiayai
sekolahnya setelah ayah angkatnya meninggal dengan bekerja di sebuah kapal
pengangkut batu bara dan jauh dari keluarga. Penyamaran dirinya melalui jejaring sosial
facebook membuahkan hasil, dan usahanya meyakinkan Mas Rio untuk riset tesisnya
ke Sangatta pun patut di acungi jempol. Tapisudut matanya tidak dapat
menyembunyikan rasa penasarannya, siapa sebenarnya Abiyan kawannya Mas Rio. Ah,
mungkin itu sebuah pertolongan, batinnya.
**
Oleh
: Sri Sundari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar